2012/12/30

Pancasila

Pancasila adalah dasar negara Republik Indonesia. Negara yang sangat kita cintai dan sangat kita banggakan.

Dalam menyerang para kaum Ateis, sering sekali kaum agamawan menyerang dengan menggunakan Pancasila dan menganggap Ateis itu melanggar Sila Pancasila khususnya Sila 1 Pancasila dan harus dibawa ke pengadilan dan dihukum karena sudah melanggar.

Tapi apakah mereka sadar kalau tidak ada satu presidenpun yang mampu mengamalkan pancasila dengan baik. Coba sebutkan siapa Presiden Indonesia yang sudah mengamalkan Sila ke-5 Pancasila dengan benar? Jawabannya tidak ada.

Coba sebutkan apakah Pemerintah sudah mengamalkan sila ke-2 Pancasila? Jawabannya tidak. Lalu bagaimana dengan Sila ke 3 Pancasila? B.J Habibie justru gagal mengamalkan tugasnya dengan baik.  Timor Leste lepas dari genggaman. Apakah dia dibawa ke pengadilan? Jawabannya tidak.

Mengenai penjelasan sila pertama sudah saya dijelaskan di post-post sebelumnya dan bisa anda lihat di sini ===> ( http://hirethetruth.blogspot.com/2012/12/ateisme-melanggar-pancasila-sila-1.html ) 

Mungkin bila kita bertanya kepada kaum Bigotry atau kaum yang mabuk kepayang oleh agama. Mereka sendiri tidak tahu darimana asal kata Pancasila itu. Paling banter jawabannya berasal dari Kitab Sutasoma dan Kitab Negarakertagama. Terlalu dekat itu mah.

Pancasila justru sudah ada sebelum 2 Agama Samawi dilahirkan(Kristen dan Islam) . Yakni pada masa dimana Sidharta Gauthama mengajarkan ajarannya yang sekarang disebut dengan Buddha. Mengapa demikian? Karena Pancasila justru ada di Kitab Tripitaka, Kitab sucinya agama Buddha.

Banyak yang mengatakan kalau Indonesia tidak cocok menggunakan Pancasila sebagai Ideologinya dan harus segera menggantinya dengan hukum Syariah. Terlalu nekat woiiiii . Bisa bisa perpecahan. Asal elu tau aja Amerika Serikat itu butuh seratus tahun lebih buat maju. 

Negara kita ini sekarang dalah tahap pengembangan. Jadi kita mesti bersabar. Jumlah penduduk kita memang banyak tapi kebanyakan masih berpendidikan rendah semua. Jadi silahkan bersabar dan mulailah belajar dari sekarang.

Sekian .
Read More..

Tambahan Mengenai Lesbi dan Gay

Di post sebelumnya kita sudah membahas mengenai LGBT. Nah khusus di sini cuman membahas mengenai Lesbi dan Gay saja .

Hanya saja di sini hanya ada sedikit tambahan mengenai Lesbi dan Gay itu sendiri. Di post sebelumnya saya mengatakan kalau seseorang menjadi gay karena mendapat trauma dari masa lalu. Tapi ketika saya bertanya kepada seseorang yang mengaku lesbi di twitter. Saya tercengang mendengar alasan dia menjadi lesbi,, dia sendiripun heran dan merasa tidak ada trauma, serta sudah menjadi lesbi sejak masih kanak-kanak.

Seseorang bisa menjadi lesbi karena adanya orientasi seks yang berbeda yang biasanya menyukai lain jenis atau sebutan lainnya adalah Heterosexual.

Berarti proses menjadi seorang Homosexual dalam hal ini Gay dan Lesbian prosesnya sama dengan proses para manusia yang heterosexual(walaupun ada beberapa yang menjadi homosexual karena adanya trauma).
Maksudnya di sini adalah proses ketertarikan suatu individu dengan individu lainnya.

Ya demikianlah tambahan mengenai Lesbi dan Gay. Sekian :)


Read More..

2012/12/29

Penggunaan Hukum Syariah di Indonesia? Terlalu Nekat.

Mengapa saya mengatakan penggunaaan hukum Syariah terlalu nekat? Nah akan saya bahas dan akan memberikan alasan saya mengapa hal itu harus dicegah.

Hukum Syariah sendiri adalah hukum yang berlandaskan kepada hukum Islam yang berdasarkan pada Hadits dan Al-quran. Orang-orang yang ingin memaksakan hukum Syariah di Indonesia adalah kebanyakan berasal dari kaum-kaum Fundamentalis Islam yang merasa bahwa Pancasila sudah gagal. Benarkah Pancasila gagal?  Tentu saja tidak, jangan salahkan ideologinya salahkan pemerintah yang gagal untuk mengamalkan Pancasila.

Alasan mereka mengapa Hukum Syariah harus diberlakukan di Indonesia hanya karena dasar kalau Negara Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia. Tapi apakah mereka menyadari jikalau Islam justru banyak berada di Pulau Jawa dan Pulau Sumatra saja?  Mungkin mereka pikun kali ya. 

Beberapa Provinsi di Indonesia justru kebanyakan adalah berbasis non-muslim. Seperti Provinsi Bali yang berbasis Hindu, Papua, Maluku, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur juga kebanyakan penduduknya adalah Kristen. 

Apa yang terjadi bila misalnya Syariah diberlakukan? Tidak perlu basa-basi. Tentu saja perpecahan yang menyebabkan negara Indonesia terdiri atas banyak negara. Provinsi-provinsi yang mayoritas non-muslim tentu tidak akan terima dengan hal ini. Perang dan demo besar besaran akan terjadi. Anak-cucu kita juga akan terlantar dengan adanya perang ini. 

Founding Father kita tidak pernah menginginkan adanya perpecahan dalam negara Indonesia. Ir.Soekarno pun menyadari hal ini dan mengubah isi Piagam Jakarta dari "Ketuhanan dengan menjalankan syariat-syariat Islam bagi para pemeluknya" dengan "Ketuhanan Yang Maha Esa".

Penutupnya adalah biarkan Indonesia tetap dengan ideologi lamanya yakni Pancasila. Amerika Serikat saja butuh ratusan tahun untuk maju. Tidak ada yang mustahil. Sekian.
Read More..

Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender(LGBT)

Kaum agamawan selalu menganggap kaum Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender adalah kaum yang berdosa dan dianggap sangat hina. Bahkan di negara yang menerapkan hukum syariah yang ketat seperti di Timur Tengah misalnya banyak LGBT yang dihukum mati tanpa memperhatikan sebab musabab kenapa mereka menjadi LGBT.

LGBT sendiri terjadi karena adanya gangguan psikologi yang akhirnya mempengaruhi orientasi seks seseorang. Faktor-faktor yang berasal dari luar dan dari dalam mempengaruhi seseorang sehingga akhirnya menjadi seorang LGBT.

Lesbian dan Gay misalnya. Kebanyakan seseorang menjadi Lesbian atau Gay, karena adanya faktor psikologi yang membuat mereka takut untuk melakukan hubungan intim dengan lain jenis. Contohnya adalah: Diperkosa ketika masih kecil, berulang kali pacaran tapi malah disakiti hatinya oleh pasangan lain jenis, dan terakhir adalah melihat pasangan kedua orang tua yang tidak akur sehingga takut untuk memiliki suami/istri yang lain jenis dengan dirinya.

Untuk Bisexual, sebenarnya kaum Bisexual berasal dari kaum Lesbian atau Gay yang mencoba untuk melakukan hubungan kembali dengan pasangan lain jenis. Walau ada kaum gay atau lesbian ada yang berhasil menjadi Orang yang Normal menurut pendapat orang banyak, tapi tidak sedikit juga yang akhirnya menyukai lain jenis dan juga pasangan sesama jenis dan akhirnya sering disebut sebagai Kaum Bisexual dan bukan kaum Gay atau Lesbi.

Untuk Transgender, mungkin ini juga adalah salah satu gangguan psikologi dan juga gangguan hormon pada tubuh manusia. Bila seseorang melakukan transgender karena gangguan psikologi, mungkin dia melakukannya karena merasa aneh dengan bagian tubuhnya dan merasa ada yang kurang sehingga memilih untuk mengganti kelaminnya. Untuk gangguan hormon, saya beri satu contoh ada seorang wanita dimana dia merasa ada yang aneh pada pertumbuhannya hingga usia 12 tahun dia belum merasakan adanya tanda tanda puber. Setelah diperiksa ke dokter ternyata sang wanita itu malah memiliki hormon testosteron, Hormon yang seharusnya dimiliki oleh laki-laki. Mengapa terjadi demikian, mungkin saat di rahim terjadi pembelahan yang tidak sempurna. Nah karena kejanggalan itulah sang wanita pun memilih untuk menjadi seseorang Pria.

Mungkin sebagian dari kalian tidak akan menerima kaum LGBT karena orientasi seks mereka yang sangat lain dan anti-mainstream. Tapi kalian juga harus sadar dan harusnya iba dengan kondisi psikologi mereka. Mereka juga manusia dan mereka juga punya hak untuk hidup. Walaupun menurut kalian itu dosa, mereka tetap saja manusia yang diciptakan oleh Tuhan kalian. Bila kalian menjadi seperti mereka, bagaimana perasaan kalian? Mungkin kalian akan merasa sedih karena terus menerus dikucilkan dari lingkungan sekitar.

Awalnya saya merasa jijik dengan yang namanya LGBT. Tapi saya sadar, mereka menjadi seperti itu mungkin karena beberapa faktor dari luar yang akhirnya mempengaruhi psikologi mereka. Jadi, tolong berikan toleransimu kepada kaum LGBT. Sebab mereka juga adalah manusia sama seperti kalian sehingga kaum LGBT juga punya hak hidup. Sekian 
Read More..

Liberalisme

Liberalisme adalah Paham yang menginginkan adanya kebebasan. Kebebasan yang bagaimana? Inilah yang selalu disalahtafsirkan oleh banyak orang. 

Mereka mengatakan jikalau bebas yang dimaksud adalah bebas untuk melakukan sesuka hati, seks bebas, bunuh-bunuhan, pertentangan, anarkisme dan sebagainya. Benarkah demikian? Nyatanya tidak.

Liberal secara harafiah berarti bebas. Bebas yang dimaksud dalam ideologi liberal bukanlah bebas untuk melakukan segala hal. 

Bebas yang dimaksud dalam paham liberalisme adalah Bebas dari diperlakukan dari berbagai hal. Diperkosa misalnya, dijambret, dibunuh, dianiaya dan diperlakukan secara negatif. 

Mengapa saya mengatakan demikian? Karena pada dasarnya negara yang berideologi liberalisme pun memiliki yang namanya Konstitusi dan peraturan perundang-undangan. 

Jikalau sebuah negara sudah tidak memiliki peraturan perundang-undangan, peraturan tertulis dan peraturan lisan yang sudah disepakati maka negara tersebut bukanlah negara liberalisme lagi. Tapi sudah disebut sebagai Negara yang berideologi Anarkisme.

Negara yang berpaham liberal seperti Amerika Serikat, Jerman dan Negara Eropa memiliki Peraturan perundang-undangan dan konstitusi yang jelas. Rakyatnya tidak melakukan segala hal dengan istilah "semau gue" . Tetap ada peraturan pembayaran pajak, tidak boleh membunuh, tidak boleh mencuri dan peraturan peraturan lainnya.

Jadi, masih menyebut liberalisme sebagai paham yang membebaskan seseorang melakukan segala hal ? Berpikir dan renungkanlah
Read More..

2012/12/28

Ateisme melanggar Pancasila sila 1 ?

Seperti yang kita ketahui bahwa isi dari Sila Pertama Pancasila adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa" dan Ateis adalah Ketidakpercayan akan keberadaan Tuhan.
Sekilas kita akan mengira jikalau Ateis itu bertentangan dengan Pancasila. Benarkah demikian? Ternyata tidak. 

Kalau kita menafsirkan Sila-1 Pancasila maka kita akan menemukan butir-butir yang menyatakan kalau misalnya setiap warga Indonesia itu Bebas untuk Berkeyakinan apapun. Kesimpulannya Ateis itu tidak dilarang oleh Pancasila.

Kalaupun kita menafsirkan dengan seenaknya maka cuman Islam, Yahudi, Bahai, Zoroaster(Kalau ada) , dan Kristenlah yang tidak melanggar Pancasila sila 1. Mengapa demikian? Alasannya simpel. Karena di luar agama tersebut  menganut sistem Polytheisme dan ada juga yang beragama ateistik, Buddha dan Jainisme misalnya. Bahkan Kristen Mormon adalah Kristen Polytheisme dan berbeda dengan Kristen-Kristen lainnya.

Seperti yang kita ketahui Esa berasal dari bahasa Semit yang artinya Satu.Nah kesimpulannya, bila ditafsirkan sesuka hati maka agama di luar yang saya sebut di atas adalah Agama sesat. 

Para manusia yang fundamentalis terhadap agama atau sering disebut dengan manusia bigotry selalu mengatakan kalau Ateis itu melanggar Pancasila, tapi mereka tidak tahu jikalau Buddha adalah salah satu agama ateistik. Mereka tidak mengakui adanya Tuhan yang personal, walaupun mereka mengakui adanya Surga, namun mereka tidak menyembah surga tersebut. Buddha adalah agama yang diakui oleh pemerintah.

Jadi? Masih mengatakan jikalau Ateis melanggar Sila 1 Pancasila? Berpikirlah seribu kali untuk mengatakan hal tersebut. 

Sekian
Read More..

Abal-Abal Laba-Laba


Berikut adalah wawancara dengan salah satu ET super cerdas sekaligus kocak dari galaksi tersembunyi dibalik celana.
Kenapa sih atheist hanya bertindak tanduk didepan monitor?
Tidak lain tidak bukan adalah untuk menunjukkan eksistensi mereka.., hmm tapi sekaligus mempermalukan dan menonjolkan kesalahan-kesalahan theist. Apa ya bingung deh pokoknya.
Eits tapi banyak juga yang gathering kan?
Betul, untuk silaturahmi, tahlilan, baca kitabnya mormon dan juga sembahyang :)
Wow keren… (udah kayak theist dong) lalu fungsinya gathering buat apa, apakah untuk sekedar ngobrol tentang konyolnya organisme lainnya yang masih menyembah-nyembah?
Hmmm tidak juga sih, eh tapi ya…, hmm tidak cuma ingin silaturahmi kok berbagi pengetahuan dan sebagainya. Ada juga yang ngobrol tentang filsafat ala tiongkok dan ilmu hitung menggunakan kalkulator. Waduh makin bingung aja hiuhiuhiuhiuhiu…
Apa benar semua yang gemar pijat plus-plus dengan keyboard mereka juga sering ikut gathering?
Belum tentu, ada juga yang suka catering…. soalnya enggak perlu masak, tinggal makan.
Apakah label atheist itu masih terlihat keren?
Masih, bagi sebagian atheist mempermalukan kebodohan theist itu sebagian dari iman, sebagian yang lain cuek-cuek saja, bahkan ada yang kurang setuju, ergghhh whatever forever ever never hairdryer.
Lebih suka label Atheist atau tanpa pelabelan?
Kalau untuk berdebat didunia  maya dhani eh…, kami lebih suka label atheist, lucu seperti chibi-chibi-chibi….
Bagaimana menurut Anda tentang “para penyembah”?
Mereka itu idiot seneng sekali dibohongi oleh kitab suci, anj**g k**t*l m*mek lah mereka enggak pernah baca, enggak pernah sekolah, konstribusi didunia nol besar, khususnya onta-onta aravavia, huarrrgggggggh *DWUARRRR
Berarti Anda sering berdebat dengan “para penyembah” ya?
Sering, terlalu sering, saya selalu ngakak kalau debat dengan mereka, goblok lah pokoknya, puas kalau lihat mereka emosi :D hiuhiuhiuhiu…
Hiuhiuhiuhiu itu apa sih?
Itu ketawa aQ lah qaqa
Oh oke, Kalau saya melabeli Anda sebagai Atheist Abal-Abal setuju?
Apaan tuh woi…. atheist itu bukan agama, tolol lu, ngapain dibeda-bedakan, kayak agama aja, kami cuma segelintir minoritas yang enggak percaya tuhan, titik tanpa fentung.
:D karena Anda lucu sih, bagaimana kalau Anda saya labeli “Sang Atheist Sejati”, Anda kan bicaranya pake bahasa standard intergalaksi sesama atheist, kalau ngobrol dengan “para penyembah” kan pake bahasa planet.
Apaan sih? enggak penting lah itu, kayak elu jenius sendiri aja berhak melabeli atheist.
Baiklah sekarang serius, apa konstribusi Anda kepada sesama organisme tanpa melihat apa agama mereka?
Menyadarkan mereka didepan monitor kan sudah termasuk, seharusnya elu berthankyou lah dengan saya.
Berterima kasih untuk apa?
Kan gue dan temen-temen udah berjuang buat menyebarkan kebenaran atheist, menyodorkan kesalahan-kesalahan theist, mendebat mereka, menunjukkan kebenaran pada mereka.
Jika suatu saat Anda disembelih oleh “para penyembah” dari kerjaan pasir bagaimana, kan planet Anda tidak terlalu aman?
Hiuhiuhiuhiuhiuhiu, diplanet gue memakai identitas palsu di jejaring sosial itu dihalalkan lah, bodoh amat hiuhiuhiuhiu.
Saya mendengar Alen Xaa ditangkap dan digebuki “para penyembah” diplanet Anda, dan dipenjarakan di gunung “OIKUDU” apa itu betul?
Betul, kasihan jg salah dia sendiri enggak pake identitas palsu.
Bagaimana kalau suatu saat, para atheist disembelih, saya sih tidak takut karena planet saya aman-aman saja, tapi diplanet Anda “para penyembah” kan menjadi mayoritas?
Bodoh amat saya dan teman-teman kan sering pake identitas palsu, yang ketangkep paling-paling yang pake identitas resmi.
Baiklah, kita sampai disini dulu kapan-kapan kita akan berdialog lebih lama lagi, terima kasih.Terima kasih kembali Bro.
Eh tapi ide tadi boleh juga bagaimana kalau saya dilabeli Laba-Laba, keren tuh :)
*** Greukgreukkkk (bunyi background music ala CollegeHumor diakhir video) *****
Read More..

Ateis Humanis dan Kaum Agamis

Ini cuman cerita namun mungkin bisa mempengaruhi pemikiran anda yang sempit dan dangkal. Selamat membaca ^_^

Nah, Andi mempunyai dua orang anak yakni Arif dan Ari. Arif adalah seorang Ateis sementara Ari adalah penganut agama yang fanatik.

Suatu hari Andi ketahuan mencuri di rumah tetangga karena situasi ekonomi mereka yang sangat sulit. Nah, kebetulan lingkungan mereka adalah lingkungan agama yang fanatik. Hukuman bagi pelanggar sesuai dengan hukum yang ada pada kitab suci mereka. Kebetulan hukuman yang diberikan adalah hukuman Potong Tangan. 

Ari yang merasa malu merasa kalau ayahnya layak dipotong tangannya demi menegakkan agama mereka tak peduli situasi ekonomi mereka seperti apa. 

Berbeda dengan Arif, Ari justru merasa iba dan memohon kepada warga agar hukuman itu dipertimbangkan dan merasa kalau masalah seperti ini diselesaikan secara kekeluargaan. Hal itu ditolak. Arif yang merasa terpojok kemudian memohon supaya dia menggantikan ayahnya untuk dihukum.

Arif pun dihukum dengan dipancung karena siapa yang membela sang pencuri juga harus dihukum mati sesuai dengan kitab suci mereka. Sang ayah kemudian dipotong tangannya . Sang ayah menangisi kepergian anaknya, Arif dan juga meratapi kecacatannya sekarang ini.

Bagaimana dengan Ari? Ari yang merasa malu kemudian meninggalkan ayahnya dan pergi keluar dari rumah.


Ini cuman bahan renungan sejenak. Baca dan renungkan ya.

Sekian :)
Read More..

2012/12/26

Yahweh adalah Tuhan yang Maha Baik ? Ciuss? Miapah? Part II

Nah di bagian ini saya tidak akan panjang lebar dan hanya menunjukkan ayatnya saja. Renungkan isinya dan baca saja, maka kalian akan melihat sosok Tuhan yang Maha Kejam, Rasis, Pembunuh dan lain-lain

Yak, Cekidot :

- Kejadian 7:1-24 . Di mana Tuhan membunuh semua umat yang tidak mau menyembah-Nya dan hanya menyelamatkan Nuh beserta keluarganya. Sungguh Tuhan yang pilih kasih.

- Kejadian 14:1-16 . Di mana Tuhan tidak turun tangan dalam hal ini tapi menyuruh Abraham membasmi beberapa raja-raja di Timur. Kalau Tuhan itu Maha Kasih maka dia akan membuat hati raja-raja Timur itu luluh untuk melepaskan Lot

- Kejadian 21:8-21 . Tuhan yang pilih kasih kepada Ismail. Menjadi lelaki dewasa tanpa ayahnya sendiri, padahal Ismail adalah anaknya yang sulung.

- Keluaran 7 :14 - Keluaran 12 :42 . Di situ kita akan melihat Tuhan memberi tulah kepada rakyat Mesir. Bila  Tuhan itu Maha Kasih, dia tidak akan mengeraskan hati Firaun tapi harus melembutkan hatinya supaya Firaun mengizinkan orang Israel keluar dari Mesir dan bukan dengan memberikan tulah.

- Keluaran 21:1-11 . Tuhan mengalalkan perbudakan.

- Yosua 12:1-24 . Tuhan yang menghalalkan perang. Kasih ?

- 2 Samuel 18:1-18 . Riwayat peperangan antara Daud dan anaknya Absalom. Tuhan yang Maha Kasih ? Tidak. Tuhan yang mencintai perpecahan.

- 1 Raja-Raja 12:1-24 . Tuhan memecah Israel menjadi 2 . Kasih ? Tidak. Justru hal ini menyebabkan adanya permusuhan antara 2 Kerajaan. Siapa yang membuat ? Tuhan karena melantik Yerobeam sebagai Raja di Israel Utara.

Demikiaan beberapa ayat yang menunjukkan kalau sebenarnya Tuhan yang ada di Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama itu sangat beda jauh. Ada yang mau menambahkan atau membantah? Hal itu terserah anda.

Sekian ^_^
Read More..

Yahweh adalah Tuhan yang Maha Kasih ? Cius? Miapah ?Enelan? Part 1

Alay sekali-sekali tidak apa apa kan ?  Hohohohohoho *Ketawa Ala Santa* . Sebelum memulai topik, saya ucapkan Selamat Natal, Selamat Ulang tahun buat Dewa Sol atau Dewa Matahari dan buat Kafir Romawi yang masih hidup/ ada saya ucapkan Selamat Hari Raya Saturnalia ^-^

Nah ini mengenai Tuhanya orang Kristen dan Yahudi yang katanya Maha Kasih. Yahweh selalu diindektikkan sebagai Tuhan yang Maha Kasih bila kita membaca semua Kitab Perjanjian Baru. Yaps, Tuhan yang Maha Kasih, Tuhan yang humanis dan Tuhan yang bisa dibilang Tuhan yang keren ataupun cool.

Tapi bila kita merujuk lebih ke belakang yakni Kitab Perjanjian Lama, maka kita akan melihat Tuhan yang gila. Gila semua deh pokoknya. Gila ingin disembah mulu, Tukang cemburu, Rasis, Kejam, Penghalal budak, Pembunuh dan Segala macam yang bernuansa negatif.

Nah, dalam part ini saya cuman memberi pendapat saya tanpa menunjukkan ayat. Di part II nanti saya akan menunjukkan ayat ayat mengenai Kekejaman Yahweh itu sendiri. Contoh kekejamannya adalah ketika Yahweh membunuh anak anak sulung di Mesir, membunuh orang Sodom dan Gomora, membunuh Umatnya pada zaman Nuh, memusnahkan banyak etnis Kanaan sehingga jumlah suku Kanaan tinggal beberapa, menyuruh umat Israel berperang melawan bangsa bangsa sekitar, membunuh Pasukan Firaun ketika mengejar bangsa Israel, memberi Rakyat Mesir yang tidak bersalah dengan tulah-tulah, mengutuk perkawinan campuran. :) .

Itu adalah beberapa contoh dari kekejaman Yahweh yang selalu dikatakan Maha Baik tapi sebenarnya adalah Maha Bejat :). Bagi orang Kristen dan Yahudi, masih mau menyembah Tuhan yang seperti itu ?? Terserah kalian :)
Read More..

2012/12/24

Dialog Sebenarnya Seorang Professor dan Muridnya


Dialog seorang profesor dengan muridnya mengenai teodisi atau upaya untuk merekonsiliasi keberadaan Tuhan dengan kejahatan telah menyebar luas di dunia maya. Seorang murid dikisahkan berhasil membantah pernyataan professor yang digambarkan “sombong.” Biasanya di akhir kata ditambahkan embel-embel ” murid itu adalah Albert Einstein”, yang jelas salah karena Einstein tidak percaya Tuhan personal, namun kepada Tuhannya Baruch Spinoza, yaitu keserasian hukum alam. Selain mencatut nama Einstein, dialog ini juga memiliki kesalahan logika yang fatal. Berikut adalah perbaikan untuk dialog tersebut yang diterjemahkan dari http://www.rationalresponders.com/debunking_an_urban_legend_evil_is_a_lack_of_something dengan sedikit adaptasi. Sementara itu, kalau mau lihat kisah aslinya yang ngawur bisa dilihat di http://novrya.blogspot.nl/2011/01/profesor-yang-tidak-punya-otak.html
Alkisah, seorang profesor filsafat menantang muridnya: “Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?”.
Seorang mahasiswa menjawab, “Betul, Dia yang menciptakan semuanya”.
“Tuhan menciptakan semuanya?”, tanya professor sekali lagi.
“Ya, Pak, semuanya”, kata mahasiswa tersebut.
Profesor itu menjawab, Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan.”
Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab pernyataan professor tersebut.
Seorang mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, “Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?”
“Tentu saja,” jawab si professor, “itulah inti dari diskurus filsafat.”
Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, “Profesor, apakah dingin itu ada?”
“Tentu saja,” ungkap si professor. Raut muka si professor tidak berubah karena ia sudah mendengar argumen buruk seperti ini berulang kali.
Si murid menanggapi, “Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.”
Sang professor pun menjawab dengan tegas: “Kamu ingat bab mengenai kesesatan semantik dalam bukumu?”
Si murid tampak bingung.
“Biar saya ulangi secara singkat. “Panas” dan “dingin” adalah istilah subjektif. Menurut John Locke, keduanya merupakan contoh “kualitas sekunder”. Kualitas sekunder merujuk kepada bagaimana kita merasakan suatu fenomena yang memang ada, dan dalam kasus ini pergerakan partikel atomik. Istilah “dingin” dan “panas” merujuk kepada interaksi antara sistem saraf manusia dengan variasi kecepatan dalam partikel atomik di lingkungan. Jadi apa yang sesungguhnya ada adalah suhu… istilah “panas” dan “dingin” hanyalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk menjelaskan pengalaman kita mengenai suhu.”
“Maka argumen Anda salah. Anda tidak membuktikan bahwa “dingin” itu tidak ada, atau bahwa “dingin” ada tanpa status ontologis, apa yang Anda lakukan adalah menunjukkan bahwa “dingin” adalah istilah subjektif. Hapuskanlah konsep subjektif tersebut, dan suhu yang kita sebut “dingin” akan tetap ada. Menghapuskan istilah yang kita gunakan untuk merujuk kepada suatu fenomena tidak menghapuskan keberadaan fenomena tersebut.”
Murid: (agak shock) “Uh… oke… em, apakah gelap itu ada?”
Professor: “Anda masih mengulangi kesesatan logika yang sama, hanya kualitas sekundernya yang diganti.”
Murid: “Jadi menurut professor kegelapan itu ada?”
Professor: “Apa yang saya katakan adalah bahwa Anda mengulangi kesesatan yang sama. “Kegelapan” adalah kualitas sekunder.”
Murid: “Professor salah lagi. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. “Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya.”
Professor: “Gelap dan terang” adalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk mendeskripsikan bagaimana manusia mengukur foton atau partikel dasar cahaya secara visual. Foton itu memang ada, sementara “gelap” dan “terang” hanyalah penilaian subjektif kita… yang sekali lagi terkait dengan interaksi antara sistem saraf manusia dengan fenomena alam yang lain, yaitu foton. Jadi, sekali lagi, hapuskanlah istilah subjektif itu dan foton akan tetap ada. Jika manusia menyebut “foton sebanyak x” sebagai “gelap” sementara kucing menyebutnya “cukup terang untukku”, foton sebanyak x yang kita sebut sebagai “gelap” tetap ada, dan akan tetap akan ada walaupun kita tidak menyebutnya gelap. Sudah paham, atau masih kurang jelas?”
Sang murid tampak tercengang. Sang professor berkata, “Tampaknya Anda masih bingung dengan kesesatan dalam argumen Anda. Tapi silakan lanjutkan, mungkin Anda akan paham.”
Sang murid berkata, “Professor mengajar dengan dualitas. Professor berargumen tentang adanya kehidupan lalu mengajar tentang adanya kematian, adanya Tuhan yang baik dan Tuhan yang jahat. Professor memandang Tuhan sebagai sesuatu yang dapat kita ukur.”
Professor langsung memotong, “Berhati-hatilah. Jika Anda menempatkan Tuhan di luar jangkauan nalar, logika dan sains dan membuatnya “tak terukur”, maka yang tersisa hanyalah misteri yang Anda buat sendiri. Jadi jika Anda menggunakan dalih bahwa Tuhan ada di luar jangkauan untuk menyelesaikan masalah, Anda juga tak bisa mengatakan bahwa Tuhan Anda bermoral. Bahkan Anda tak bisa menyebutnya sebagai apapun kecuali tak terukur. Jadi solusi Anda tidak ada bedanya dengan membersihkan ketombe dengan memangkas rambut.”
Murid tersebut tercengang, namun tetap berusaha melanjutkan, “Professor, sains bahkan tidak dapat menjelaskan sebuah pemikiran. Ilmu ini memang menggunakan listrik dan magnet, tetapi tidak pernah seorangpun yang melihat atau benar-benar memahami salah satunya..”
Professor: “Anda mengatakan bahwa sains tak bisa menjelaskan pikiran. Saya sendiri kurang paham apa yang Anda maksud. Apakah Anda mencoba mengatakan bahwa masih banyak misteri dalam neurosains?”
Murid: “Begitulah.”
“Dan bahwa pikiran, listrik dan magnetisme itu kita anggap ada walaupun tak pernah kita lihat?”
“Benar!”
Sang professor tersenyum dan menjawab, “Bukalah kembali bukumu mengenai kesesatan false presumption. Perhatikan bab “kesalahan kategoris.” Kalau Anda pernah membacanya, Anda akan ingat bahwa kesalahan kategoris adalah saat Anda menggunakan tolak ukur yang salah untuk suatu entitas, misalnya menanyakan warna dari suara. Meminta seseorang melihat magnetisme secara langsung merupakan kesalahan kategoris.”
“Namun, masih ada kesalahan lain dalam argumen Anda. Anda berasumsi bahwa empirisisme atau bahkan sains hanya didasarkan kepada pengamatan langsung. Ini tidak tepat. Penglihatan bukanlah satu-satunya cara untuk memahami dunia, dan sains juga bukan ilmu yang mempelajari apa yang kita lihat. Kita dapat menggunakan indera lain untuk melacak suatu fenomena. Dan kita juga dapat mempelajari pengaruh fenomena tersebut terhadap dunia.”
“Lebih lagi, Anda kembali melakukan kesalahan dengan menyatakan bahwa karena sains itu belum lengkap berarti Tuhan itu ada. Mungkin Anda perlu mempelajari kembali kesesatan “argumentum ad ignoratiam” atau argumen dari ketidaktahuan.”
“Dan juga, seperti yang dikatakan oleh Neil deGrasse Tyson, gunakanlah contoh yang lebih baik karena sains sudah mampu menjelaskan bagaimana pikiran terbentuk dan bahkan Maxwell sudah lama menggabungkan elektrisme dan magnetisme menjadi elektromagnetisme. Contoh yang lebih baik itu misalnya materi gelap yang membuat perluasan alam semesta menjadi begitu cepat. Fisikawan tak bisa menjawab itu, dan mungkin Anda akan mengatakan jawabannya Tuhan. Namun dengan begitu, Anda justru sedang menyusutkan Tuhan. Anda melakukan kesesatan ad ignoratiam bahwa yang belum dijelaskan sains itu adalah keajaiban Tuhan, dan itu berarti Anda menempatkan Tuhan untuk mengisi gap dalam sains. Nah, dahulu manusia juga tak mampu menjawab mengapa hujan terbentuk atau mengapa gunung meletus, dan orang-orang dulu menyebutnya karena Tuhan. Kini kita sudah memahami hujan dan gunung meletus, begitu pula pikiran, listrik dan magnetisme, dan ke depannya materi gelap juga mungkin akan kita pahami. Dengan begitu Tuhan yang mengisi gap pun terus menciut.”
“Masih ada yang mau ditambahkan? Apakah penjelasan saya sudah cukup jelas?”
Sang murid tampak bingung dan mencoba melakukan ad nauseam, “Em… kembali ke diskusi awal kita. Untuk menilai kematian sebagai kondisi yang berlawanan dengan kehidupan sama saja dengan melupakan fakta bahwa kematian tidak bisa muncul sebagai suatu hal yang substantif. Kematian bukanlah kontradiksi dari hidup, hanya ketiadaan kehidupan saja.”
Professor pun berkata, “Apakah Anda jatuh cinta dengan kesesatan kualitas sekunder? Lagi-lagi Anda melakukan kesalahan yang sama.” “Kematian” dan “kehidupan” adalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk menjelaskan fenomena keadaan-keadaan biologis. Menghapuskan istilah subjektif kematian tidak menghapuskan keberadaan kematian.
Si murid pun mencoba mengalihkan pembicaraan, “Apakah imoralitas itu ada?”
Si professor menggelengkan kepalanya dan berkata, “Keledai pun tidak akan jatuh ke dalam lubang yang sama. Ada yang masih kurang jelas, atau perlu saya ulangi lagi?”
Sang murid yang terus berusaha menjustifikasi kepercayaannya berkata, “Begini.. imoralitas itu adalah ketiadaan moralitas. Apakah ketidakadilan itu ada? Tidak. Ketidakadilan adalah ketiadaan keadilan. Apakah kejahatan itu ada? Bukankah kejahatan itu ketiadaan kebaikan?”
Sang professor menanggapi, “Jadi, jika seseorang membunuh ibumu malam ini, tidak terjadi apa-apa? Hanya ada ketiadaan moralitas di rumah Anda? Tunggu… dia tidak mati… cuma ketiadaan hidup kan?”
Si murid berkata, “eh…”
“Sekarang sudah mengerti di mana salahnya?”, ujar sang professor, “Anda mencampur kualitas sekunder dengan fenomena. “Imoralitas” adalah istilah deskriptif untuk perilaku. Istilah tersebut bersifat sekunder, namun perilaku tetaplah ada. Jadi jika Anda menghapuskan kualitas sekunder itu, Anda tidak menghapuskan perilaku yang sesungguhnya terjadi. Dengan mengatakan imoralitas sebagai ketiadaan moralitas, Anda tidak menghapuskan keinginan atau perilaku imoral, tetapi hanya istilah subjektifnya. Begitu lho.”
Si murid masih kukuh, “Apakah professor pernah mengamati evolusi itu dengan mata professor sendiri?”
Sang professor sudah bosan mendengar argumen “pernah lihat angin tidak”.
“Evolusi itu bisa diamati karena hingga sekarang masih berlangsung. Misalnya, pada tahun 1971, beberapa kadal dari pulau Pod Kopiste di Kroasia dipindah ke pulau pod Mrcaru. Pulau Pod Kopiste tidak banyak tumbuhan sehingga memakan serangga, sementara di pulau Pod Mrcaru ada banyak tumbuhan. Setelah ditinggal selama beberapa dekade, ketika ditemukan kembali, kadal di pulau Pod Mrcaru mengalami proses evolusi. Kadal tersebut mengembangkan caecal valve, yaitu organ yang penting untuk mengolah selulosa dalam tumbuhan, yang sebelumnya tidak ada. Atau, jika Anda pergi ke laboratorium Richard Lenski di Amerika Serikat, Anda bisa saksikan sendiri bagaimana bakteri e coli yang sebelumnya tak bisa mengolah asam sitrat, karena evolusi dengan seleksi alam muncul e coli yang bisa mengolah asam sitrat.”
“Lagipula, Anda lagi-lagi terjeblos dalam kesesatan ad ignoratiam. Jika ingin konsisten dengan logika Anda, Anda akan mengatakan bahwa pohon tidak pernah tumbuh karena Anda tak pernah melihat langsung bagaimana pohon tumbuh. Lebih lagi, Anda kembali melakukan kesalahan dengan mengasumsikan bahwa sains itu hanya terdiri dari pengamatan langsung…. “
Si murid memotong, “Apakah ada dari kelas ini yang pernah melihat otak Profesor? Apakah ada orang yang pernah mendengar otak Profesor, merasakannya, menyentuhnya atau menciumnya? Tampaknya tak seorang pun pernah melakukannya. Jadi, menurut prosedur pengamatan, pengujian dan pembuktian yang disahkan, ilmu pengetahuan mengatakan bahwa professor tidak memiliki otak. Dengan segala hormat, bagaimana kami dapat mempercayai pengajaran professor?”
Si professor tertawa dan menjawab, “Terima kasih sudah hadir di kelas ini sehingga saya bisa membenarkan kesalahan Anda walaupun Anda terus menerus mengulanginya. Sekali lagi, sains itu tidak terbatas kepada “melihat” sesuatu. Sains itu juga rasional. Kita dapat menyimpulkan berdasarkan bukti yang ada. Dan salah satu simpulan yang dapat saya tarik dengan mengamati perilaku Anda  hari ini adalah bahwa Anda telah membuang-buang uang karena tidak membaca buku logika yang sudah Anda beli. Jadi saya sarankan bacalah buku itu kembali dari halaman satu agar tidak terus menerus mengulangi kesalahan yang sama.”
- Dan murid itu adalah orang yang tidak banyak membaca…
Read More..

Asal Usul Hari Natal

Sesungguhnya, tidak seorang pun tahu kapan persisnya Yesus dari Nazareth dilahirkan ke dalam dunia ini. Tidak ada suatu Akta Kelahiran zaman kuno yang menyatakan dan membuktikan kapan dia dilahirkan. Tidak ada seorang saksi hidup yang bisa ditanyai.

Berlainan dari tuturan kisah-kisah kelahiran Yesus yang dapat dibaca dalam pasal-pasal permulaan Injil Matius dan Injil Lukas, sebetulnya pada waktu Yesus dilahirkan, bukan di Bethlehem, tetapi di Nazareth, tidak banyak orang menaruh perhatian pada peristiwa ini. Paling banyak, ya selain ibunya, beberapa tetangganya juga ikut sedikit disibukkan oleh kelahirannya ini, di sebuah kampung kecil di provinsi Galilea, kampung Nazareth yang tidak penting.

Baru ketika Yesus sesudah kematiannya diangkat menjadi sang Mesias Kristen agung oleh gereja perdana, atau sudah dipuja dan disembah sebagai sang Anak Allah, Raja Yahudi, dan Juruselamat, disusunlah kisah-kisah kelahirannya sebagai kelahiran seorang besar yang luar biasa, seperti kita dapat baca dalam pasal-pasal awal Injil Matius dan Injil Lukas (keduanya ditulis sekitar tahun 80-85 M). Penulis Injil Kristen tertua intrakanonik, yakni Injil Markus (ditulis tahun 70 M), sama sekali tidak memandang penting untuk menyusun sebuah kisah kelahiran Yesus.

Dalam tuturan penulis Injil Lukas, kelahiran Yesus diwartakan sebagai kelahiran seorang tokoh Yahudi yang menjadi pesaing Kaisar Agustus, yang sama ilahi dan sama berkuasanya, yang kelahiran keduanya ke dalam dunia merupakan “kabar baik” (euaggelion) untuk seluruh bangsa karena keduanya adalah “Juruselamat” (sōtēr) dunia (bdk Lukas 2:10,11 dan prasasti dekrit Majelis Provinsi Asia tentang Kaisar Agustus yang dikeluarkan tahun 9 M). Dalam tuturan penulis Injil Matius, kanak-kanak Yesus yang telah dilahirkan, yang diberitakan sebagai kelahiran seorang Raja Yahudi, telah menimbulkan kepanikan pada Raja Herodes Agung yang mendorongnya untuk memerintahkan pembunuhan semua anak di Betlehem yang berusia dua tahun ke bawah (Matius 2:2, 3, 16), kejadian yang mungkin sekali diciptakan dengan memakai model sosok Nabi Musa, yang dilahirkan ketika sang Firaun Mesir sedang menjalankan aksi pembunuhan atas anak-anak Ibrani yang terlahir sebagai bayi laki-laki (Keluaran 1:15-2:10)
.


Dalam kisah-kisah kelahiran Yesus dalam kedua injil inipun, bahkan dalam seluruh Perjanjian Baru, tidak ada suatu catatan historis apapun yang menyatakan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Jika demikian, bagaimana tanggal 25 Desember bisa ditetapkan sebagai hari kelahiran Yesus, hari Natal? Dalam kebudayaan kuno Yahudi-Kristen dan Yunani-Romawi, ada dua cara yang dapat dilakukan untuk menetapkan hari kelahiran Yesus.

Cara pertama

Seperti dicatat dalam dokumen Yahudi Rosh Hashana (dari abad kedua), sudah merupakan suatu kelaziman di kalangan Yahudi kuno untuk menyamakan hari kematian dan hari kelahiran bapak-bapak leluhur Israel. Dengan sedikit dimodifikasi, praktek semacam ini diikuti oleh orang-orang Kristen perdana ketika mereka mau menetapkan kapan Yesus Kristus dilahirkan.

Sebetulnya, praktek semacam ini berlaku hampir universal dalam orang menetapkan hari kelahiran tokoh-tokoh besar dunia yang berasal dari zaman kuno. Dalam kepercayaan para penganut Buddhisme, misalnya, hari kelahiran, hari pencapaian pencerahan (samma sambuddha) dan hari kematian (parinibbana) Siddharta Gautama sang Buddha dipandang dan ditetapkan (pada tahun 1950 di Sri Langka) terjadi pada hari yang sama, yakni Hari Waisak atau Hari Trisuci Waisak.

Ketika orang-orang Kristen perdana membaca dan menafsirkan Keluaran 34:26b (bunyinya, “Janganlah engkau memasak anak kambing dalam susu induknya”), mereka menerapkannya pada Yesus Kristus. “Memasak anak kambing” ditafsirkan oleh mereka sebagai saat orang Yahudi membunuh Yesus; sedangkan frasa “dalam susu induknya” ditafsirkan sebagai hari pembenihan atau konsepsi Yesus dalam rahim Bunda Maria. 


Dengan demikian, teks Keluaran ini, setelah ditafsirkan secara alegoris, menjadi sebuah landasan skriptural untuk menetapkan bahwa hari kematian Yesus sama dengan hari pembenihan janin Yesus dalam kandungan ibunya, sekaligus juga untuk menuduh orang Yahudi telah bersalah melanggar firman Allah dalam teks Keluaran ini ketika mereka membunuh Yesus.

Kalau kapan persisnya hari kelahiran Yesus tidak diketahui siapapun, hari kematiannya bisa ditentukan dengan cukup pasti, yakni 14 Nisan dalam penanggalan Yahudi kuno, dan ini berarti 25 Maret dalam kalender Gregorian. Sejumlah bapak gereja, seperti Klemen dari Aleksandria, Lactantius, Tertullianus, Hippolytus, dan juga sebuah catatan dalam dokumen Acta Pilatus, menyatakan bahwa hari kematian Yesus jatuh pada tanggal 25 Maret. Demikian juga, Sextus Julianus Afrikanus (dalam karyanya Khronografai, terbit tahun 221), dan Santo Agustinus (menulis antara tahun 399 sampai 419), menetapkan 25 Maret sebagai hari kematian Yesus. Dengan demikian, hari pembenihan janin Yesus dalam rahim Maria juga jatuh juga pada 25 Maret.

Kalau 9 bulan ditambahkan pada hari konsepsi Yesus ini, maka hari kelahiran Yesus adalah 25 Desember. Sebuah traktat yang mendaftarkan perayaan-perayaan besar keagamaan, yang ditulis di Afrika dalam bahasa Latin pada tahun 243, berjudul De Pascha Computus, menyebut tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Hippolytus, dalam Tafsiran atas Daniel 4:23(ditulis sekitar tahun 202), menyebut tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Sebuah karya yang ditulis dengan tangan, dalam bahasa Latin, pada tahun 354 di kota Roma, yang berjudul Khronografi, juga menyebut 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus Kristus.

Meskipun banyak dokumen dari abad ketiga sampai abad keempat menyebut tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus Kristus, tidak semua orang pada waktu itu menyetujui adanya perayaan hari Natal. Origenes, teolog Kristen dari Aleksandria, misalnya, dalam karyanya Homili atas Kitab Imamat, menyatakan bahwa “hanya orang-orang berdosa seperti Firaun dan Raja Herodes yang merayakan hari ulang tahun mereka.” Begitu juga, seorang penulis Kristen bernama Arnobus pada tahun 303 memperolok gagasan untuk merayakan hari kelahiran dewa-dewi.

Pada sisi lain, kalangan Montanus menolak kalau kematian Yesus jatuh pada 25 Maret; bagi mereka Yesus wafat pada 6 April. Dengan demikian 6 April juga hari konsepsi Yesus dalam kandungan Maria, ibunya. Kalau setelah 6 April ditambahkan 9 bulan, maka hari kelahiran Yesus jatuh pada 6 Januari. Di kalangan Gereja Timur (yang berbahasa Yunani), berbeda dari Gereja Barat (yang berbahasa Latin), hari Natal tidak dirayakan pada 25 Desember, tetapi pada 6 Januari.

Cara kedua

Sebelum kekristenan lahir dan tersebar di seantero kekaisaran Romawi dan kemudian dijadikan satu-satunya agama resmi (religio licita) kekaisaran melalui dekrit Kaisar Theodosius pada tahun 381, orang Romawi melakukan penyembahan kepada Matahari (= heliolatri).

Dalam heliolatri ini, Dewa Matahari atau Sol menempati kedudukan tertinggi dan ke dalam diri Dewa Sol ini terserap dewa-dewa lainnya yang juga disembah oleh banyak penduduk kekaisaran, antara lain Dewa Apollo (dewa terang), Dewa Elah-Gabal (dewa matahari Syria) dan Dewa Mithras (dewa perang bangsa Persia).

Heliolatri, yakni pemujaan dan penyembahan kepada Dewa Sol sebagai Dewa Tertinggi, menjadi sebuah payung politik-keagamaan untuk mempersatukan seluruh kawasan kekaisaran Romawi yang sangat luas, dengan penduduk besar yang menganut berbagai macam agama dan mempercayai banyak dewa.

Pada tahun 274 oleh Kaisar Aurelianus Dewa Sol ditetapkan secara resmi sebagai Pelindung Ilahi satu-satunya atas seluruh kekaisaran dan atas diri sang Kaisar sendiri dan sebagai Kepala Panteon Negara Roma. Menyembah Dewa Sol sebagai pusat keilahian berarti menyentralisasi kekuasaan politik pada diri sang Kaisar Romawi yang dipandang dan dipuja sebagai titisan atau personifikasi Dewa Sol sendiri.

Dalam heliolatri ini tanggal 25 Desember ditetapkan sebagai hari perayaan religius utama untuk memuja Dewa Sol, hari perayaan yang harus dirayakan di seluruh kekaisaran Romawi. 
Pada musim dingin, matahari (Latin: sol) tampak diam tak bergeming (Latin: sistere) di titik terendah di kaki langit Eropa sejak tanggal 21 Desember. Persis tanggal 25 Desember terjadilah titik balik Matahari (winter solstice), saat Matahari sedikit terangkat dari kaki langit dan mulai sedikit demi sedikit beranjak naik ke atas, seolah sang Sol ini hidup atau lahir kembali. Peristiwa astronomikal titik balik Matahari di musim dingin ini ditafsir secara religius sebagai saat Dewa Sol tak terkalahkan, bangkit dari kematian, yang dalam bahasa Latinnya disebut sebagai Sol Invictus (=Matahari Tak Terkalahkan). 


Dengan demikian, tanggal 25 Desember dijadikan sebagai Hari Kelahiran Dewa Sol Yang Tak Terkalahkan, Dies Natalis Solis Invicti. Karena Kaisar dipercaya sebagai suatu personifikasi Dewa Sol, maka sang Kaisar Romawi pun menjadi Sang Kaisar atau Sang Penguasa Tak Terkalahkan, Invicto Imperatori, seperti diklaim antara lain oleh Kaisar Septemius Severus yang wafat pada tahun 211.

Nah, ketika kekristenan disebarkan ke seluruh kekaisaran Romawi, para pemberita injil dan penulis Kristen, sebagai suatu taktik misiologis mereka, mengambil alih gelar Sol Invictus dan mengenakan gelar ini kepada Yesus Kristus sehingga Yesus Kristus menjadi Matahari Tak Terkalahkan yang sebenarnya. Mereka memakai teks-teks Mazmur 19:5c-6 (“Dia memasang kemah di langit untuk Matahari yang keluar bagaikan Pengantin laki-laki yang keluar dari kamarnya, girang bagaikan pahlawan yang hendak melakukan perjalanannya.”), Maleakhi 4:2 (“… bagimu akan terbit Surya Kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya.”) dan Lukas 1:78-19 (“Oleh rakhmat dan belas kasihan Allah kita, dengan mana Dia akan melawat kita, Surya Pagi dari tempat yang tinggi.”) sebagai landasan skriptural untuk menjadikan Yesus Kristus sebagai Sol Invictus yang sebenarnya.

Dengan jadinya Yesus Kristus sebagai Sol Invictus baru, maka tanggal 25 Desember sebagai hari natal Dewa Sol juga dijadikan hari Natal Yesus Kristus. Seorang penulis Kristen perdana, Cyprianus, menyatakan, “Oh, betapa ajaibnya: Allah Sang Penjaga, Pemelihara dan Penyelenggara telah menjadikan Hari Kelahiran Matahari sebagai hari di mana Yesus Kristus harus dilahirkan.” Demikian juga, Yohanes Krisostomus, dalam khotbahnya di Antikohia pada 20 Desember 386 (atau 388), menyatakan, “Mereka menyebutnya sebagai ‘hari natal Dia Yang Tak Terkalahkan’. Siapakah yang sesungguhnya tidak terkalahkan, selain Tuhan kita…?”

Selanjutnya, mulai dari Kaisar Konstantinus yang (menurut sebuah mitologi Romawi) pada 28 Oktober 312 melihat sebuah tanda salib dan sebuah kalimat In Hoc Signo Vinces (=“Dengan tanda ini, kamu menang”) di awan-awan, perayaan keagamaan yang memuja Sol Invictus pada 25 Desember diubah menjadi perayaan keagamaan untuk merayakan hari Natal Yesus Kristus. Dengan digantinya Dewa Sol dengan Yesus Kristus sebagai Sol Invictus yang sejati, dan tanggal 25 Desember sebagai hari Natal Yesus Kristus, sang Kaisar berhasil mengonsolidasi dan mempersatukan seluruh wilayah negara Roma yang di dalamnya warga yang terbesar jumlahnya adalah orang Kristen, yang, menurut Eusebius, adalah warga “Gereja Katolik yang sah dan paling kudus” (Eusebius, Historia Ecclesiastica 10.6).

Dan sejak itu juga, para uskup/paus sama-sama mengendalikan seluruh kekaisaran Roma di samping sang Kaisar sendiri; ini melahirkan apa yang disebut Kaisaropapisme. Kalau sebelumnya heliolatri menempatkan Dewa Sol sebagai Kepala Panteon yang menguasai seluruh dewa-dewi yang disembah dalam seluruh negara Romawi dan sebagai pusat kekuasaan politik, maka ketika Yesus Kristus sudah menjadi Sol Invictus pengganti, sang Kristus inipun mulai digambarkan sebagai sang Penguasa segalanya (=Pantokrator), yang telah menjadi sang Pemenang (=Kristus Viktor) di dalam seluruh kekaisaran Romawi.

Penutup

Jelas sudah, tanggal 25 Desember bukanlah hari kelahiran Yesus yang sebenarnya. Seperti telah dinyatakan pada awal tulisan ini, kembali perlu ditekankan bahwa sesungguhnya tidak ada seorang pun di dunia pada zaman kuno dan pada masa kini mengetahui kapan persisnya Yesus dari Nazareth dilahirkan. Ketika Yesus baru dilahirkan, dia bukanlah seorang penting apapun. Hanya beberapa orang saja yang memedulikannya. Hanya ketika dia sudah diangkat menjadi sang Kristus gereja dan dipercaya sebagai sang Juruselamat dunia, dia baru menjadi penting dan kisah-kisah hebat tentang kelahirannya pun disusun.

Pada zaman gereja awal dulu, orang tidak sepakat kapan persisnya Yesus dilahirkan, meskipun berbagai cara penghitungan telah diajukan; dan juga orang tidak selalu sependapat bahwa hari kelahiran Yesus Kristus perlu dirayakan. Siapapun, dengan suatu pertimbangan teologis kultural, pada masa kini dapat menetapkan sendiri hari Natal Yesus Kristus buat dirinya dan buat komunitas gerejanya, tidak harus tanggal 25 Desember. Sebetulnya, cara merayakan Natal Yesus Kristus yang sebenarnya adalah dengan menjelmakan kembali dirinya, terutama bela rasanya, dalam seluruh gerak kehidupan orang yang menjadi para pengikutnya di masa kini. 
Read More..